Senin, 06 Februari 2017

Sekilas Dayak Kenyah



S
uku bangsa Dayak terdiri dari berbagai macam sub-suku bangsa yang hakekatnya berasal dari rumpun yang sama. Keadaan geografis dan proses penyesuaian alam, menjadi penyebab tercerai-berainya menjadi ratusan sub suku bangsa Dayak. Sejatinya menurut asal usul, suku bangsa Dayak berasal dari daratan Asia yang bermigrasi secara besar-besaran sekitar tahun 3.000-1.500 SM. Para imigran tersebut berasal dari Propinsi Yunan, Cina Selatan. Mereka mengembara ke Tumasik (Singapura) dan Semanjung Melayu dan akhirnya di Borneo (Kalimantan), Indonesia. Sebagian imigran lain memilih “pintu masuk” melalui Hainan, Taiwan, dan Filipina. Pada “gelombang pertama” imigran yang masuk ke Kalimantan adalah kelompok Negrid dan Weddid, atau lazim disebut Proto Melayu. Sedang “gelombang kedua” disebut Deutro Melayu. Kelompok ini menghuni wilayah pantai Kalimantan dan kini dikenal sebagai Suku Melayu (Widjono, 1998: 2-3).

Ketika sampai di Kalimantan, awalnya imigran “gelombang pertama” mendiami daerah pantai. Tapi kedatangan “gelombang kedua” membuat mereka terdesak sampai ke pedalaman sehingga menghuni daerah sekitar hulu sungai. Dari sinilah timbul ungkapan untuk menyebut orang-orang yang tinggal di hulu sungai. Mereka mendapat sebutan “orang hulu” yang kemudian disebut “Dayak” (Umberan, dkk., 1993: 32).

Terdapat beragam penjelasan etimologi istilah “Dayak”. Menurut Lindblad, kata “Dayak” berasal dari kata “daya” dari bahasa Dayak Kenyah, yang berarti hulu (sungai) atau pedalaman (J. Thomas Lindblad, “Between Dayak and Dutch: The Economic History of Southeast Kalimantan 1880-1942, 1988). Sedang King menduga istilah “Dayak” berasal dari kata “aja”, dari Bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi (Victor T. King, “The People of Borneo”, 1993). Pada perkembanganya, istilah “Dayak” digunakan untuk menyebut “orang-orang asli non-muslim, non-Melayu yang tinggal di pedalaman Kalimantan” (Victor T. King, 1993: 29).

Terdesaknya suku bangsa Dayak ke pedalaman Kalimantan menjadi pemicu tercerai berainya menjadi berbagai macam sub suku bangsa Dayak. Beberapa versi kemudian muncul untuk mengelompokkan suku bangsa Dayak. Beberapa versi tersebut, antara lain, versi pertama dikemukakan H.J. Malinckrodt berdasarkan kesamaan hukum adat, mengelompokkan dalam enam rumpun suku yang dinamakan Stammenras. Pengelompokkan itu adalah: Stammenras Kenyah-Kayan-Bahau; Stammenras Ot Danum, meliputi Ot Danum, Ngaju, Maayan, Dusun, dan Luangan; Stammenras Iban; Stammenras Murut; Stammenras Klemantan; dan Stammenras Punan: Basap, Punan, Ot, dan Bukat (J. Mallinckrodt, “Adatrech van Borneo, 1928 dalam Widjono, 1998).

 Versi kedua dari W. Stohr yang bertolak dari segi ritus kematian, mengelompokkan suku bangsa Dayak ke dalam 6 kelompok: Kenyah-Kayan-Bahau; Ot Danum, yang terbagi menjadi Ot Danum-Ngaju, Maayan-Lawangan; Iban; Murut, meliputi Dusun-Murut-Kelabit; Klemantan, meliputi Klemantan, dan Dayak Barat; Punan. (W. Stohr, “Das Totenritual der Dajak, 1959).

Versi ketiga dari Tjilik Riwut yang membuat pembagian sub suku bangsa Dayak menjadi 18 sub suku yang terbagi lagi menjadi 403-450 sub suku bangsa yang lebih kecil. Pengelompokan tersebut adalah:
1.      Kelompok Ngaju terbagi atas 4 sub suku besar: a. Ngaju: terdiri dari 53 sub suku kecil; b. Maayan: terdiri dari 8 sub suku kecil; c. Lawangan: terdiri dari 21 sub suku kecil; d. Dusun: terdiri dari 8 sub suku kecil
2.      Kelompok Apau Kayan terbagi atas 3 sub suku besar: a. Kenyah: terdiri dari 24 sub suku kecil; b. Kayan: terdiri dari 10 sub suku kecil; c. Bahau: terdiri dari 26 sub suku kecil
3.      Kelompok Iban terdiri dari 11 sub suku kecil
4.      Kelompok Klemantan terbagi atas 2 sub suku besar: a. Klemantan: terdiri dari 47 sub suku kecil; b. Ketungau: terdiri dari 39 sub suku kecil
5.      Kelompok Murut terbagi atas 3 sub suku besar: a. Idaan (Dusun): terdiri dari 6 sub suku kecil; b. Tindung: terdiri dari 10 sub suku kecil; c. Murut: terdiri dari 28 sub suku kecil
6.      Kelompok Punan terbagi atas 3 suku besar: a. Basap: terdiri dari 20 sub suku kecil; b. Punan: terdiri dari 24 sub suku kecil; c. At: terdiri dari 5 sub suku kecil
7.      Kelompok Ot Danum terdiri dari 61 sub suku kecil (Tjlik Riwut, 1956).

Berdasarkan pengelompokan itu, terdapat versi yang seragam atas pengelompokan dari sub suku bangsa Dayak Kenyah, yang dikelompokkan menjadi satu rumpun dengan Kenyah-Kayan-Bahau. Dari pengelompokan ini bisa disimpulkan, kelompok Kenyah-Kayan-Bahau mempunyai kesamaan di bidang hukum adat maupun ritus kematian.

2. Migrasi dan Mitos Asal-usul Dayak Kenyah

Sub suku bangsa Dayak Kenyah adalah salah satu sub suku bangsa Dayak yang mendiami wilayah Kalimantan Timur. Ditilik dari asal usulnya, Dayak Kenyah berasal dari daerah Baram, Serawak. Dari wilayah tersebut Dayak Kenyah memasuki Kabupaten Malinau di Kalimantan Timur. Ketika masuk ke Kalimantan Timur, kelompok migrasi ini terpecah menjadi dua bagian, sebagian menuju daerah Apau Kayan yang sebelumnya telah ditempati Dayak Kayan, sedang sebagian lainnya menuju daerah Bahau.
Pergerakan Dayak Kenyah menuju hilir akhirnya tiba di daerah Mahakam (Batu Majang, Rukun Damai dan Datah Bilang), juga di Pampang, Samarinda, Lung Anai dan Barambai di Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebagian lainnya bergerak menuju wilayah sungai Ancalong, Muara Bengkal dan Muara Wahau di Kabupaten Kutai Timur dan sebagian lainnya bergerak ke hilir menuju Tanjung Palas dan Malinau. Di berbagai tempat inilah, Dayak Kenyah semakin menampakkan identitas yang tertuang dalam adat dan budaya. Ragam seni hias dari Dayak Kenyah bahkan banyak dipakai pada bangunan-bangunan di Kalimantan Timur. Bukan saja terdiri dari seni ukir semata, tetapi tarian dan juga cara hidup (Suku Kenyah, tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/suku_kenyah).

Secara mitos dan legenda, muncul pula tutur riwayat asal usul dari Dayak Kenyah. Leluhur Dayak Kenyah dituturkan berasal dari saudagar keturunan Cina bernama Haka. Diceritakan sang saudagar itu suatu waktu berniaga di Borneo. Dalam perniagaan itu, Haka singgah di sebuah gua untuk beristirahat. Ternyata di dalam gua dihuni pula oleh seekor naga yang mempunyai batu permata di kepala.

Haka sangat menginginkan memiliki batu permata tersebut, tapi tak kuasa melawan sang naga yang sanggup mengeluarkan api dari mulutnya. Niat untuk mengambil batu permata diurungkan dan pulanglah Haka ke Cina untuk meminta bala bantuan dari sang Raja. Dan Raja pun setuju dengan permintaan Haka. Akhirnya dikirimlah pasukan dari Cina bersama Haka untuk merebut permata yang menghias kepala sang naga. Permata itu berhasil direbut pasukan Cina bersama Haka ketika sang naga dalam kondisi tertidur. Tetapi sayang, dalam situasi terakhir ketika kapal pasukan Cina akan bertolak kembali ke Negeri Cina, sang naga terbangun dan mengejar pasukan Cina. Malang bagi Haka, dia tertinggal di belakang perahu yang telah angkat sauh kembali ke Negeri Cina bersama permata.

Akhirnya Haka dan sebagian prajurit yang masih tertinggal beringsut masuk ke pedalaman hutan, menyusuri sungai dan sampai ke sebuah perkampungan. Di sini Haka dan para prajurit berbaur dan beradaptasi dengan masyarakat sekitar hingga berkeluarga. Dari situlah asal mula penduduk Pulau Borneo memiliki ras dari Negeri Cina. Setelah sekian tahun perkembangan penduduk semakin pesat, Haka membawa sebagian penduduk pindah ke daerah lain. Tempat tersebut bernama Apau Ahe. Di sini masyarakat Haka terus berkembang pesat dan diyakini sebagai leluhur Dayak Kenyah.

Mitos memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan di kehidupan Dayak Kenyah dan sub Suku Dayak lainnya. Mitos yang salah satunya melembaga lewat paham animisme memang menjadi ciri kepercayaan supranatural, ritual-ritual, dan praktisi supranatural. Conley misalnya, menulis “agama bagi semua orang Kenyah sebelum agama Kristen datang disebut Adet Tepun, di mana tepun berarti nenek moyang”. Menurut Conley, Dayak Kenyah percaya pada tiga jenis roh (bali), yaitu roh baik, jahat, dan yang tidak dapat diduga.

Suku Dayak Kenyah sejatinya bermula dari daerah Baram, Serawak yang bermigrasi ke wilayah Kalimantan Utara dan terpecah menjadi dua bagian, sebagian menuju Apau Kayan yang sebelumnya telah ditempati Dayak Kayan, sedang sebagian lainnya menuju sungai Bahau. Suku Dayak Kenyah terdiri dari beberapa subsuku diantaranya Lepoq Tepu, Lepoq Badeng, Lepoq Bakung, Lepoq Bem, Lepoq Jalan, Lepoq Ke, Lepoq Kudaq, Lepoq Kulit, Lepoq Maut, Lepoq Tau, Lepoq Tao', Umaq Timei, Uma Jalan, Umaq Alim, Umaq Baka, Umaq Bakung, Umaq Lasan, Umaq Lung, Umaq Tukung.
 
Pergerakan migrasi Dayak Kenyah akhirnya tiba di wilayah Mahakam Ulu, Kutai Kartanegara, Kota Samarinda, Kutai Timur, Berau, Bulungan dan Malinau. Pemukiman suku Dayak Kenyah di Kabupaten Mahakam Ulu berada di kampung Batu Majang, Rukun Damai, Datah Bilang Ulu dan Datah Bilang Ilir, sedangkan di Kabupaten Kutai Kartanegara berada di Bila Talang, Buluk Sen, Long Lalang, Ritan Baru, Tukung Ritan, Umaq Bekuai, Umaq Dian, Umaq Tukung, Lekaq Kidau, Long Anai dan Berambai. Sedangkan di Kota Samarinda mereka bermukim di Pampang.

Pemukiman Dayak Kenyah di Kabupaten Kutai Timur berada di wilayah Kecamatan Batu Ampar, Busang, Kongbeng, Long Masengat, Muara Ancalong, Muara Bengkal, Muara Wahau dan Telen. Sedangkan di Kabupaten Berau di Kecamatan Kelay. Segah dan Sambaliung, sedangkan di Kabupaten Malinau berada di Kecamatan Sungai Boh, Pujungan, Bahau Hulu, Kayan Hulu, Kayan Hilir dan Kayan Selatan, adapun di Kabupaten Bulungan berada di Kecamatan Peso, Peso Ilir, Sekatak, Tanjung Palas dan Tanjung Palas Barat.

Menurut tutur lisan leluhur Dayak Kenyah berasal dari migran keturunan Cina bernama Haka. Diceritakan Haka berniaga di Borneo, dan suatu waktu ia singgah di sebuah goa untuk beristirahat. Ternyata di dalam goa dihuni seekor naga yang mempunyai batu permata di kepala. Haka sangat ingin memiliki batu permata itu, tapi tak kuasa melawan naga yang sanggup mengeluarkan api dari mulutnya. Niat untuk mengambil batu permata diurungkan dan pulanglah Haka ke Cina meminta bantuan dari Kerajaan. Maka kemudian dikirimlah pasukan dari Cina untuk merebut permata di kepala naga. Permata itu berhasil direbut ketika naga sedang tertidur, namun dalam situasi terakhir ketika kapal pasukan Cina akan kembali ke Negeri Cina, sang naga terbangun dan mengejar pasukan Cina. Malang bagi Haka, dia tertinggal karena kapal telah angkat sauh kembali ke Negeri Cina.

Akhirnya Haka dan sebagian prajurit yang masih tertinggal masuk ke wilayah pedalaman, menyusuri sungai dan tiba di perkampungan kemudian mereka berbaur dengan masyarakat hingga beranak-pinak. Setelah sekian tahun kemudian Haka membawa sebagian masyarakat pindah ke Apau Ahe dan perkampungan itu berkembang pesat dan diyakini sebagai cikal bakal leluhur Dayak Kenyah.

Sumber Rujukan
Widjono, Roedy Haryo. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: P.T. Grasindo. 1998.
Umberan, Musni, dkk. Sejarah Kebudayaan Kalimantan, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1993.
Maunati, Yekti. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, Yogyakarta: LKIS, 2004
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2341/bungan-malan-peselung-luan-tuhan-bagi-dayak-kenyah-di-kalimantan-timur

Catatan Anak Uma': Lorensius Amon

Proses Kepemilikan Tanah: Dayak Kenyah



Proses Kepemilikan Tanah: Dayak Kenyah
 
Bagi masyarakat adat, hak atas tanah telah di atur dalam hukum adat. Suku Kenyah Uma’ Timai misalnya, menjadikan tanah bekas kawasan perladangan yang disebut Bekan Umè (tanah bekas berladang) sebagai hak milik, dengan memfungsikan tanah itu untuk kebun buah dan tanaman produktif lainnya. Konsep pemahaman ini telah turun-temurun dari leluhur mereka, karena semua itu memiliki proses yang telah di atur dalam hukum adat. Ditinjau dari urutan pekerjaan suku Kenyah dalam berladang, pertama mereka memilih lokasi lahan yang diniscayakan cocok untuk ladang. Kegiatan ini, untuk lokasi yang telah menjadi milik perorangan, dilakukan oleh keluarga bersangkutan. Sedangkan untuk kawasan berstatus milik bersama, harus ada persetujuan Kepala Adat yang disebut ye’ nggin ilu neng uma’ dan warga masyarakat lain.
Selanjutnya, setelah memilih lokasi maka mereka pun memberi tanda (lemetip). Memberi tanda ini dilakukan dengan cara; menancapkan dua atau tiga batang kayu ukuran besar pergelangan tangan dan tinggi ± 1,5 cm. Pada kayu tersebut disisipkan atau diikat dengan akar sebilah kayu yang menghubungkan dua/tiga batang kayu yang sudah ditancapkan. Tanda (lemetip) itu sebagai bukti lahan akan dibuka dan tahun lingkaran perladangan telah dimulai.
Kemudian tahap kedua adalah menebas (lemirèk) rumput, semak dan kayu kecil. Kegiatan menebas dilakukan sekitar bulan April/Mei di hutan sekunder tua (ba’i tumbak), atau di bulan Mei/Juni untuk ladang di hutan sekunder muda (bekan/kara). Tahap ketiga setelah menebas adalah memotong pohon kecil (nebeng pu’un dè) dengan menggunakan parang (malat) dan menebang pohon dengan kampak (asai). Tahap keempat, menebang (nebeng) pohon besar di area ladang, sekitar bulan Juni atau Juli yang dilakukan sendiri maupun gotong-royong (senuyun). Tahap kelima, mencincang dahan dan ranting (lemetuq), agar kayu tebangan cepat kering untuk memudahkan proses pembakaran.
Tahap keenam, membuat sekat bakar (sang nutung umè) di sekitar pinggir ladang, agar tidak terjadi perembetan api saat pembakaran ladang. Tahap ketujuh, membakar ladang (nutung ume) yang sudah dikeringkan sekitar 2 hingga 4 Minggu untuk hutan muda, 4 hingga 6 Minggu untuk hutan tua. Tahap kedelapan, membersihkan ranting dan daun yang tidak terbakar (mekup) kemudian dikumpulkan di suatu tempat untuk dibakar ulang. Tahap kesembilan, kegiatan menanam padi atau menugal (nugan) dengan cara melobangi tanah dengan kayu runcing (tugan).
Tahap kesepuluh, sekitar seminggu setelah menugal dilakukan pengontrolan rumput dan pencabutannya tanpa menggunakan alat bantu. Tahap kesepuluh, kegiatan merumput (mavau) di sekitar tanaman padi dengan menggunakan lingga (beluing) yang dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki. Tahap kesebelas, kegiatan potong padi atau panen (masau). Kegiatan panen padi ini bisa dilakukan sendiri atau bergotong-royong (senuyun masau). Tahap kedua belas, membuat emping (laliq ube’) yang erbuat dari padi ketan muda yang digoreng tanpa minyak, kemudian ditumbuk ramai-ramai atau bersama. Emping setelah ditumbuk dan dibersihkan, dapat langsung dimakan atau dicampuri dengan santan parutan kelapa dan gula merah.
Membuat emping (Lali’ Ube’) menandai berakhirnya tahun perladangan. Hal itu berarti, masyarakat setempat memasuki masa tunggu antara seusai panen dengan masa menebas berikutnya. Pada masa ini, lazimnya masuk ke hutan untuk mencari nafkah tambahan keluarga. Sifat pemilikan tanah dalam tradisi suku Kenyah, mencakup dua kategori. Pertama personal dan kedua hak kolektif. Dasar pemilikan tanah dapat diperoleh melalui beberapa sebab yakni tanah milik yang berasal dari hasil pembukaan tanah adat untuk perladangan. Tanah hak milik yang didapat secara khusus sebagai suatu bentuk amanat dari orang tertentu. Tanah hak milik yang didapat dari proses jual beli. Tanah hak milik yang didapat karena proses denda perkara adat. tanah hak milik yang didapat karena warisan leluhur/keluarga.
Pekerjaan ladang, bagi masyarakat Dayak bukan semata untuk memenuhi kebutuhan pangan. Karena mereka juga mengupayakan ragam tanaman jangka pendek seperti sayuran, dan tanaman buah-buahan jangka panjang, seperti durian, langsat, rambutan, cempedak dan lain-lain. Hak kepemilikan tanah senantiasa terikat dengan aturan hak kolektif. Meski demikian, yang bersangkutan memiliki tanah untuk memungut hasil hutan, berburu binatang liar, mengambil hasil dari tanaman yang tumbuh liar, membuka tanah dan mengerjakannya terus menerus. Dengan kegiatan itu, terjadilah hubungan kepemilikan yang diberi tanda tertentu sebagai bukti kepastian kepemilikannya. (*)

Catatan Anak Uma': Lorensius Amon